“Pengepungan di Bukit Duri”: Cermin Luka Sosial dalam Bingkai Sinema Karya Joko Anwar

Dalam kunjungannya ke Medan pada Senin (14/4/2025), Joko Anwar dengan penuh emosi menyatakan bahwa film ini merupakan karya paling spesial sepanjang kariernya sebagai sineas. Bukan tanpa alasan. Setelah dikenal luas lewat film-film horor dan hiburan populer, Joko kini menyuguhkan sebuah karya yang penuh makna dan sarat pesan kemanusiaan.
Baca Juga:
"Selama ini aku bikin film hiburan saja. Horor. Tapi yang ini beda, karena membicarakan soal negara," ujarnya.
Kalimat tersebut membuka cakrawala baru tentang arah sinema Indonesia, yang tidak hanya mengejar angka box office, tapi juga berani menyentuh ranah kesadaran sosial. Film ini berbicara tentang kondisi bangsa yang "sakit", dengan pendekatan yang humanis dan jauh dari retorika politik formal.
Isu utama yang diangkat adalah budaya kekerasan dan intoleransi—dua masalah laten yang terus menghantui kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, Joko Anwar menegaskan bahwa film ini tidak diarahkan untuk menyerang pihak tertentu. "Ini bukan soal politik. Ini tentang rakyat. Tentang kita," katanya, menegaskan bahwa narasi yang dihadirkan lebih menyentuh dimensi kemanusiaan daripada sekadar kritik struktural.
Disutradarai oleh Joko Anwar dan diproduseri oleh Tia Hasibuan, Pengepungan di Bukit Duri mengambil latar tahun 2027, namun memori kolektif penonton seakan ditarik kembali ke peristiwa krusial tahun 1998. Dalam narasi dan visualnya, film ini menggugah kesadaran akan pentingnya perhatian negara terhadap rakyatnya, mulai dari akses terhadap kesehatan, pendidikan, hingga keadilan sosial.
Joko Anwar menyebut film ini sebagai "gambaran wajah Indonesia." Suatu refleksi jujur bahwa di balik geliat kehidupan masyarakat, masih ada luka sosial yang belum benar-benar sembuh.
Rencananya, film ini akan dirilis secara serentak di seluruh bioskop Indonesia mulai 17 April 2025. Menariknya, ini adalah hasil kolaborasi perdana antara rumah produksi Indonesia, Come and See Pictures, dengan Amazon MGM Studios—studio legendaris dunia yang kini menjajaki kerja sama pertamanya di Asia Tenggara.
Deretan pemain dalam film ini pun bukan nama sembarangan. Morgan Oey, Omara Esteghlal, Hana Pitrashata Malasan, hingga aktor senior Landung Simatupang turut mewarnai cerita dengan performa akting yang intens dan menggugah.
Film ini juga menjadi penanda 20 tahun perjalanan Joko Anwar di dunia penyutradaraan. Dua dekade bukan waktu yang sebentar, dan Joko memilih merayakannya dengan karya yang berani, menggugah, dan—sebagaimana mestinya—mendidik.
Trailer film ini dibuka dengan adegan kehidupan yang tampak normal: siswa sekolah bersenda gurau, warga tertawa bersama. Namun, semuanya berubah dalam sekejap. Bel sekolah berbunyi, menjadi penanda runtuhnya kedamaian semu. Dalam salah satu adegan yang paling menyentuh, tokoh Edwin yang diperankan Morgan Oey berkata, "Negara kita itu kayak kaca yang paling tipis."
Kalimat ini menyentil kesadaran kita semua. Bahwa harmoni bisa pecah kapan saja, jika tidak dijaga dengan keadilan, toleransi, dan kepedulian sosial.
Melalui Pengepungan di Bukit Duri, Joko Anwar mengajak kita untuk tidak hanya menjadi penonton, tapi juga menjadi bagian dari perubahan. Sebuah film yang tidak hanya ditonton dengan mata, tetapi dirasakan dengan hati dan direnungkan dengan pikiran.

Natasha Rizky Keringat Dingin Kembali ke Dunia Film

Tiga Aktris Cantik yang Betah Melajang hingga 2024

Iqbaal Ramadhan Pilih Botak daripada Rusak

Aghniny Haque Tolak Job Film demi Pentas Teater

Erika Carlina Berat Jalani Rukiyah
