Kudatuli: Luka Berdarah 27 Juli yang Belum Juga Sembuh

Kitakini.com - Jakarta kembali berlumur darah pada 27 Juli 1996. Peristiwa kelam yang kemudian dikenal sebagai Kudatuli—akronim dari "Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli" menjadi catatan hitam dalam sejarah politik Indonesia. Hari itu, lima nyawa melayang, 149 orang luka-luka, dan 23 lainnya dinyatakan hilang. Tragedi itu pecah saat terjadi pengambilalihan paksa kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro No. 58, Jakarta Pusat.
Baca Juga:
Peristiwa ini merupakan puncak dari konflik internal berkepanjangan dalam tubuh PDI, yang kala itu terbelah menjadi dua kubu: kubu Soerjadi dan kubu Megawati Soekarnoputri. Konflik bermula dari Kongres IV PDI di Medan, Sumatera Utara pada Juli 1993. Kongres yang berlangsung ricuh itu menetapkan Soerjadi sebagai Ketua Umum, namun hasil tersebut langsung menuai penolakan. Salah satu penyebab utamanya adalah pengambilalihan pimpinan sidang oleh Yacob Nuwa Wea bersama ratusan orang yang mengklaim diri sebagai fungsionaris DPP PDI Peralihan. Mereka menerobos ruang kongres dan memicu ketegangan di hari pertama.
Situasi memanas karena sebagian besar kader mendukung Megawati Soekarnoputri. Suara yang tidak bulat dalam kongres membuat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan saat itu, Soesilo Sudarman, menyatakan Kongres Medan tidak sah dan merencanakan kongres luar biasa (KLB) di Surabaya. Namun, KLB tersebut gagal dilaksanakan. Megawati kemudian menyatakan diri sebagai Ketua Umum PDI secara de facto dan dikukuhkan dalam Musyawarah Nasional PDI pada 22 Desember 1993 di Kemang, Jakarta Selatan. Di sisi lain, Soerjadi terus melanjutkan upaya konsolidasi dengan menyelenggarakan KLB Medan pada 20-23 Juni 1996 yang kembali menetapkan dirinya sebagai ketua umum.
Perebutan kepemimpinan ini membuat Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro dikuasai dan dijaga ketat oleh pendukung Megawati. Setiap hari digelar mimbar bebas di halaman kantor. Aktivitas politik tersebut membuat aparat militer dan kepolisian merasa tidak nyaman. Bahkan Panglima ABRI saat itu, Jenderal Feisal Tanjung, menyebut mimbar bebas itu sebagai bentuk makar dan menuduh penggeraknya berafiliasi dengan PKI. Tuduhan tersebut dibantah keras oleh Megawati. "Kalau saya mau membuat makar tentu sudah saya lakukan. Kami hanya ingin menjaga harga diri warga yang porak-poranda dengan adanya Kongres Medan," tegas Megawati dalam pernyataannya di hadapan puluhan wartawan nasional dan asing akhir Juli 1996.
Kerusuhan pecah pada pagi hari 27 Juli 1996. Pukul 06.20 WIB, massa pendukung Soerjadi mulai berdatangan dan melakukan dialog singkat dengan massa pendukung Megawati. Namun, kesepakatan status quo tidak tercapai. Sekitar pukul 06.35 WIB, pecah bentrokan. Massa pro-Soerjadi menyerang dengan melempar batu dan paving block, dibalas dengan lemparan balik oleh massa pro-Megawati. Kantor PDI pun akhirnya direbut.
Sekitar pukul 08.00 WIB, aparat keamanan turun tangan dan mengambil alih sepenuhnya kantor DPP PDI, menetapkan kawasan tersebut sebagai area tertutup, termasuk akses jalan sekitarnya. Pukul 08.45 WIB, sekitar 50 orang pendukung Megawati yang masih bertahan di dalam kantor diangkut menggunakan tiga truk dan dua ambulans.
Pukul 11.00 WIB, suasana di sekitar Jalan Diponegoro semakin panas. Ribuan massa berkumpul, termasuk aktivis LSM dan mahasiswa yang menggelar mimbar bebas di bawah jembatan layang dekat Stasiun Cikini. Bentrokan terbuka pun tak terelakkan dengan aparat keamanan. Pukul 13.00 WIB, bentrokan memanas dan massa mundur ke arah RSCM dan Jalan Salemba. Sejumlah kendaraan umum dibakar, termasuk tiga bus kota dan satu bus tingkat. Beberapa gedung di sekitar Salemba turut terbakar dua jam kemudian.
Hingga pukul 16.35 WIB, aparat keamanan mengerahkan lima panser, tiga kendaraan militer pemadam kebakaran, 17 truk, dan sejumlah kendaraan militer lainnya ke lokasi. Kerusuhan mulai mereda, namun api masih menyala di beberapa titik hingga malam hari.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa dalam peristiwa ini terdapat indikasi kuat terjadinya pelanggaran HAM. Di bawah pimpinan Asmara Nababan dan Baharuddin Lopa, Komnas HAM melakukan investigasi, dilanjutkan pada tahun 2003. Hasilnya menyebutkan bahwa terdapat lima korban meninggal dunia, 149 korban luka-luka, dan 23 orang hilang. Kerugian materiil pun ditaksir mencapai Rp 100 miliar. Selain itu, ditemukan berbagai pelanggaran HAM seperti pelanggaran kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran kebebasan dari rasa takut, serta perlakuan tidak manusiawi, perlindungan terhadap jiwa, dan harta benda.
Setelah peristiwa ini, sejumlah aktivis dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) dituduh sebagai dalang Kudatuli. Beberapa dari mereka dijemput paksa oleh aparat, diinterogasi, dituntut oleh Kejaksaan Agung, dan akhirnya mendekam di penjara. Salah satu tokoh yang hingga kini belum diketahui nasibnya adalah Wiji Thukul, aktivis sekaligus penyair yang dikenal vokal menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Peringatan atas tragedi Kudatuli terus digelar setiap tahun. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai kelanjutan politik dari kubu Megawati selalu menekankan pentingnya mengungkap kebenaran sejarah dan memperjuangkan keadilan bagi para korban. Dalam beberapa kesempatan, PDI-P bahkan menyindir adanya tekanan hukum terhadap kadernya yang saat ini kembali mengalami tekanan, seperti yang dialami oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto.
Hingga hampir tiga dekade berlalu, Kudatuli tetap menjadi luka sejarah yang belum sepenuhnya terobati. Kebenaran masih gelap, keadilan belum datang, dan para korban masih menanti jawaban.

Kunjungan Didit Prabowo ke Kediaman Megawati, Sinyal Silaturahmi Elit yang Menyejukkan Suhu Politik

KPK Resmi Menahan Hasto Kristiyanto dalam Kasus Dugaan Suap PAW DPR RI dan Perintangan Penyidikan

Dalam Rapat Paripurna DPRD Kota Medan, Fraksi PDI-Perjuangan Ajukan Pencabutan Perda Tata Ruang

HUT ke-78 Ibu Mega, Sutarto: Beliau Ibu Bangsa

Hut PDI Perjuangan ke-52, Repdem Sumut Gelar Try Out Ujian Profesi Advokat
